Huria Kristen Batak Protestan (disingkat sebagai HKBP) adalah gereja yang berdenominasi Kristen Protestan dengan warisan tradisi Lutheran dan Reformed[2] di kalangan masyarakat Batak, umumnya Batak Toba. Gereja ini merupakan yang terbesar di antara gereja-gereja Protestan yang ada di Indonesia (terutama di Provinsi Sumatera Utara) dan Asia Tenggara, sehingga menjadikannya organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[3] Gereja ini tumbuh dari misi Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) asal Jerman yang berdiri pada Senin, 7 Oktober 1861.
Saat ini, HKBP memiliki jemaat sekitar 4,133,000 jemaat di seluruh Indonesia. HKBP juga mempunyai beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Malaysia, dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat yaitu California, New York, dan Colorado. Meski memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku bangsa lainnya.
HKBP berkantor pusat di Pearaja (Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) yang berjarak sekitar 1 km dari pusat kota Tarutung, ibukota kabupaten tersebut. Pearaja merupakan sebuah desa yang terletak di sepanjang jalan menuju Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Kompleks perkantoran HKBP, pusat administrasi organisasi HKBP, berada dalam area ± 20 hektare. Di kompleks ini juga ada Ephorus (uskup) sebagai pucuk pimpinan HKBP berkantor.
HKBP adalah anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), anggota Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), UEM Jerman, dan anggota Dewan Gereja-Gereja Sedunia (WCC). Sebagai gereja yang berasaskan ajaran Lutheran, HKBP juga menjadi anggota dari Federasi Lutheran Sedunia (LWF) yang berpusat di Jenewa, Swiss.
Berikut adalah garis waktu sejarah HKBP:
Beberapa sumber mencatat bahwa penyebaran Injil di tanah Batak dimulai sejak diutusnya Pendeta Ward dan Pendeta Barton dari Gereja Baptis Inggris ke Tanah Batak. Usaha pengabaran Injil di Tanah Batak dimulai kembali pada tahun 1834 dengan diutusnya Pdt. Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman dari badan zending di Boston. Usaha ini mengalami kegagalan karena kedua missionaris tersebut mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Usaha menginjili Tanah Batak sempat terhenti sampai berita mengenai Tanah Batak terdengar lagi di Eropa dari hasil ekspedisi seorang Ilmuwan yang bernama Junghuhn pada tahun 1840. Akibatnya pada tahun 1849, Lembaga Alkitab Belanda mengirim Van der Tuuk (di Tanah Batak dikenal sebagai Tuan Pandortuk atau Tuan Pandoltuk) untuk mempelajari Bahasa Batak. Hasilnya adalah diterjemahkannya sebagian Alkitab ke dalam bahasa Batak menggunakan aksara Batak. Setelah melihat hasil karya Van der Tuuk, Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya dalam menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pendeta Dr. Fabri ke sana. Sebagian sumber menyebutkan bahwa hal ini disebabkan terhalangnya usaha RMG di Kalimantan.
Penetapan hari jadi HKBP pada tanggal 7 Oktober 1861 memiliki makna sejarah dan teologis yang mendalam. Tanggal 7 Oktober 1861 menjadi titik balik sejarah penginjilan dan sejarah Gereja HKBP. Sejarah penginjilan dan sejarah gereja adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Gereja tanpa penginjilan bukanlah Gereja. Itulah sebabnya, peristiwa 7 Oktober 1861 diartikan dan dimaknai dari dua segi, yakni penginjilan dan gereja. Hasil penginjilan di Tanah Batak adalah kekristenan yang di dalamnya terdapat sejumlah jemaat atau pargodungan (stasi zending dan sekaligus huria). Jemaat-jemaat tersebut sejak awal sudah diarahkan akan membentuk sebuah gereja-zending yang kelak menjadi sebuah gereja yang mandiri dari RMG.
Jauh sebelum tahun 1861, RMG telah membuka misi penginjilan di Namibia, Afrika Selatan, China, Kalimantan, dan di Amerika Utara. Tetapi sejak 7 Oktober 1861, dibuka satu misi penginjilan baru di Sumatra, yakni Bataklanden (Tanah Batak). Misi penginjilan baru di Tanah Batak diberi nama Battamission, dikemudian hari disebut Batakmission atau Mission-Batak.
Tanggal lahir Batakmission pada 7 Oktober 1861 bertepatan dengan tanggal dari rapat pertama para penginjil utusan RMG di Tanah Batak. Hari lahir Batakmission tersebut disambut pengurus RMG di Jerman dengan rasa sukacita. Mereka memberitahukan kabar gembira ini kepada jemaat-jemaat pendukung RMG di Jerman pada awal 1862 sebagai berikut:
" die ersten Briefe unserer Brueder aus dem Battalande sind uns gekommen,und wir koenen heute der Heimathgemeinde den Beginn der Battamission melden. Den 7 oktober 1861 werden wir als den Geburtstag diesses gliedes in dem umkreis unserer arbeit bezeichnen duerfen. An diesem tage traten die dortigen brueder zur ersten Conferenz in Sipirok zusammen "
Inilah pemaknaan yang pertama akan arti dari tanggal 7 Oktober 1861, suatu pemaknaan dari kacamata pengurus RMG di Jerman.
Batakmission dalam hal ini berarti himpunan dari seluruh para utusan RMG di Tanah Batak beserta asetnya mencakup seluruh pargodungan dan jemaat serta pelayan pribumi. Lembaga zending dan lembaga kegerejaan dipadukan dalam satu lembaga yang bernama Batakmission. Lembaga ini sejak 1881 dipimpin oleh seorang pemimpin dengan jabatan ephorus yang dilayankan oleh penginjil Ingwer Ludwig Nommensen (1881-1918).
HKBP ditata mengikuti sistem keuskupan, mirip dengan Gereja-gereja yang menganut sistem episkopal seperti Gereja Katolik Roma, Gereja Anglikan, Gereja Methodis, dll. Pimpinan tertingginya disebut Ephorus. Ephorus HKBP yang pertama adalah Pdt. Dr. (H.C.) I.L. Nommensen. Ephorus dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal, dan sejak tahun 2004 juga dibantu oleh tiga kepala departemen. Di bawahnya adalah praeses yang memimpin distrik-distrik kewilayahan gereja, sementara di bawah distrik terdapat resort yang dipimpin oleh pendeta resort, dan di tingkat yang paling bawah adalah jemaat individual yang dipimpin oleh pelayan penuh waktu atau guru jemaat. Saat ini HKBP mempunyai 32 Praeses yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam pelayanannya, seorang pendeta HKBP biasanya dibantu oleh Guru Huria, sementara ada pula jabatan lain yaitu Bibelvrouw dan diakones.
Pada tanggal 27 Juli 1986, di gereja HKBP Bukit Moria, Medan Baru, untuk pertama kalinya HKBP menahbiskan seorang pendeta perempuan yaitu Pdt. Noortje Parsaulian Lasni Rohana Lumbantoruan, S.Th. Pentahbisan dipimpin oleh Ephorus Pdt. G.H.M. Siahaan.
Sampai April 2012, HKBP mempunyai 1.519 Pendeta, 175 Calon Pendeta, 428 Guru Jemaat, 36 Calon Guru Jemaat, 408 Bibelvrouw, 43 Calon Bibelvrouw, 284 Diakones, 29 Calon Diakones. Keseluruhan pelayan dan calon pelayan berjumlah 2.922 orang.
Saat ini jabatan Ephorus HKBP dipegang oleh Pdt. Robinson Butarbutar, yang melayani mulai tahun 2020-2024.
Berikut ini adalah daftar distrik di Huria Kristen Batak Protestan.
JAKARTA, Pena Katolik – Sepintas, Alkitab Katolik dan Protestan terlihat sama, dengan kitab-kitab dasar yang sama dikumpulkan bersama dalam satu volume. Namun, jika dilihat lebih dekat, Alkitab Protestan kehilangan beberapa kitab yang termasuk dalam Alkitab Katolik.
Pertama, orang-orang Kristen tidak memiliki satu pun volume teks yang diilhami selama kira-kira 300 tahun pertama. Penciptaan dan kompilasi Alkitab adalah proses yang panjang. Para pemimpin Gereja mula-mula menyaring banyak manuskrip dan membedakan, menggunakan beberapa kriteria historis, doktrinal, dan teologis yang berbeda, kitab mana yang harus disimpan dan dimasukkan dalam kanon, dan kitab mana yang harus disisihkan.
Perjanjian Lama sebagian besar didasarkan pada terjemahan Yunani dari teks-teks Ibrani yang diterima secara luas sebagai terjemahan yang sah (dan bahkan diilhami). Ini dikenal sebagai “Septuaginta” (dari kata Yunani untuk 70) dan sangat populer di kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani.
Persetujuan kitab-kitab mana yang akan dimasukkan dalam Perjanjian Baru dimulai dengan Konsili Laodikia pada tahun 363, dilanjutkan ketika Paus Damasus I menugaskan St. Jerome menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin pada tahun 382, dan diselesaikan secara pasti selama Sinode Hippo (393) dan Kartago (397).
Tujuannya adalah untuk mengabaikan semua karya keliru yang beredar pada saat itu dan menginstruksikan Gereja-Gereja setempat tentang kitab-kitab mana yang boleh dibacakan dalam Misa.
Sebagai hasil dari sinode-sinode ini, Alkitab tetap tidak berubah sampai reformasi Protestan.
Setelah abad ke-16, setiap pemimpin Protestan utama memiliki interpretasi yang berbeda mengenai iman Kristen dan peran Alkitab. Ini mengarah pada proses di mana berbagai kitab dalam Alkitab dihapus karena “ketidaksesuaian” mereka dengan kepercayaan Protestan.
Selanjutnya, Protestan biasanya menggunakan daftar kitab-kitab Perjanjian Lama yang disetujui oleh para sarjana Ibrani di kemudian hari, mungkin pada abad ke-2 atau ke-3 Masehi. Katolik, di sisi lain, menggunakan Septuaginta Yunani sebagai dasar utama untuk Perjanjian Lama.
Ini berarti bahwa Alkitab Protestan hanya memiliki 39 kitab dalam Perjanjian Lama, sedangkan Alkitab Katolik memiliki 46. Tujuh kitab tambahan yang termasuk dalam Alkitab Katolik adalah Tobit, Judith, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan, Sirakh, dan Baruch. Kanon Katolik juga mencakup bagian dari Kitab Ester dan Daniel yang tidak ditemukan dalam Alkitab Protestan.
Beberapa Alkitab Protestan masih memasukkan kitab-kitab ini, sementara yang lain tidak. Karena ada banyak denominasi Protestan di seluruh dunia, daftarnya bervariasi sesuai dengan praktik masing-masing gereja Kristen.